“Musik
menyerang sistim saraf pusat secara langsung, dengan mem-bypass pusat berpikir.
Itulah sebabnya musik dapat menyebabkan efek baik maupun buruk terhadap
manusia, tergantung jenis musik apa yang sampai ke otak kita. “
Seringkali sebagian orang menilai bahwa jenis
musik yang baik didengar itu hanya masalah selera. Namun di lain pihak kita
juga menyadari, bahwa musik dapat mempengaruhi kita secara emosi, fisik,
mental, dan spiritual. Jenis musik mana yang baik untuk kesehatan emosi, fisik,
mental, dan spiritual sering membawa kita pada berbagai kontroversi. Pada
kesempatan ini, saya akan sedikit memberikan data-data penelitian mengenai efek
musik terhadap berbagai bagian dan fungsi tubuh kita, termasuk bagaimana
efeknya terhadap otak, peningkatan berbagai hormon, dan hubungannya dengan
ritme tubuh.
HUBUNGAN MUSIK DENGAN FUNGSI OTAK
Semua jenis bunyi atau bila bunyi tersebut dalam
suatu rangkaian teratur yang kita kenal dengan musik, akan masuk melalui
telinga, kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan di telinga
dalam serta menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea untuk selanjutnya
melalui saraf Koklearis menuju ke otak. Ada 3 buah jaras Retikuler atau
Reticular Activating System yang diketahui sampai saat ini. Pertama: jaras
retikuler-talamus. Musik akan diterima langsung oleh Talamus, yaitu suatu
bagian otak yang mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahulu
dicerna oleh bagian otak yang berpikir mengenai baik-buruk maupun intelegensia.
Kedua: melalui Hipotalamus mempengaruhi struktur basal “forebrain” termasuk
sistem limbik, dan ketiga: melalui axon neuron secara difus mempersarafi
neokorteks. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang mengatur fungsi
pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot usus, fungsi
endokrin, memori, dan lain-lain. Seorang peneliti Ira Altschuler mengatakan
“Sekali suatu stimulus mencapai Talamus, maka secara otomatis pusat otak telah
diinvasi”.
Sebuah survey pada suatu seminar menunjukkan
bahwa pendengarnya mengatakan bahwa mereka tidak mendengarkan syair dari sebuah
lagu. Namun pada waktu lagu tersebut diperdengarkan, separuh dari mereka dapat
melagukannya tanpa mereka sadari. Hal ini menunjukkan adanya memori dalam otak
yang mampu merekam apa saja yang masuk melalui pendengarannya bersama musik,
tanpa mampu dicerna oleh akal sehat. Kesimpulannya tidak ada lagu/musik yang
mampu dicegah masuknya ke dalam otak kita, walaupun kita berkata “saya tidak
mendengarkan syairnya”.
Seorang peneliti, Donald Hodges, mengemukakan
bahwa bagian otak yang dikenal sebagai Planum Temporale dan Corpus Callosum
memiliki ukuran lebih besar pada otak musisi jika dibandingkan dengan mereka
yang bukan musisi. Kedua bagian ini bahkan lebih besar lagi jika para musisi
tersebut telah belajar musik sejak usia yang masih sangat muda yakni di bawah
usia tujuh tahun. Gilman dan Newman (1996) mengemukakan bahwa Planum Temporale
adalah bagian otak yang banyak berperan dalam proses verbal dan pendengaran,
sedangkan Corpus Callosum berfungsi sebagai pengirim pesan berita dari otak
kiri ke sebelah kanan dan sebaliknya. Seperti kita ketahui otak manusia
memiliki dua bagian besar, yaitu otak kiri dan otak kanan. Walaupun banyak
peneliti mengatakan bahwa kemampuan musikal seseorang berpusat pada belahan
otak kanan, namun pada proses perkembangannya proporsi kemampuan yang tadinya
terhimpun hanya pada otak kanan akan menyebar melalui Corpus Callosum ke
belahan otak kiri. Akibatnya, kemampuan tersebut berpengaruh pada perkembangan
linguistik seseorang. Dr Lawrence Parsons dari Universitas Texas San Antonio
menemukan data bahwa harmoni, melodi dan ritme memiliki perbedaan pola
aktivitas pada otak. Melodi menghasilkan gelombang otak yang sama pada otak
kiri maupun kanan, sedangkan harmoni dan ritme lebih terfokus pada belahan otak
kiri saja. Namun secara keseluruhan, musik melibatkan hampir seluruh bagian
otak. Dr. Gottfried Schlaug dari Boston mengemukakan bahwa otak seorang
laki-laki musisi memiliki Cerebellum (otak kecil) 5% lebih besar dibandingkan
yang bukan musisi. Kesemua ini memberikan pengertian bahwa latihan musik
memberikan dampak tertentu pada proses perkembangan otak.
MUSIK DAN PRODUKSI HORMON
Mary Griffith, seorang ahli fisiologi,
mengemukakan bahwa hipotalamus mengontrol berbagai fungsi saraf otonom, seperti
bernapas, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan usus, pengeluaran hormon
tiroid, hormon adrenal cortex, hormon sex, bahkan dapat mengontrol seluruh
metabolisme tubuh kita. Sebuah studi menemukan adanya peningkatan Luteinizing
Hormone (LH) pada saat mendengarkan musik. LH adalah suatu hormon sex yang
merangsang pematangan sel telur.
Penelitian lain oleh Satiadarma (1990) dilakukan
dengan cara mengukur suhu kulit menggunakan alat Galvanic Skin Response (GSR).
Pada saat subyek penelitian mendengarkan musik hingar-bingar, maka suhu kulit
lebih rendah dari pada suhu basal (suhu normal individu tersebut tanpa musik).
Sebaliknya, ketika musik lembut diperdengarkan, suhu kulit meninggi dari
biasanya. Hal ini menunjukkan adanya suatu hormon stress yang dilepaskan oleh
otak, yaitu Adrenalin, yang dapat mempengaruhi bekerjanya pembuluh darah di
kulit untuk vasokonstriksi (menyempit) atau vasodilatasi (melebar). Pada
kondisi stress, adrenalin banyak dikeluarkan dan pembuluh darah kulit
menyempit, sehingga suhu kulit menurun. Kesimpulannya adalah jenis musik
hingar-bingar dapat menyebabkan kita stress, sedangkan musik lembut memiliki
efek menenangkan.
Penelitian oleh Ann Ekeberg menunjukkan pengaruh
jenis musik terhadap denyut jantung. Siswa di sebuah sekolah menjadi subyek
penelitian dan mereka diukur kecepatan denyut nadinya sebelum mendengar musik.
Kemudian musik jenis hard rock diperdengarkan selama 5 menit. Semua siswa harus
tetap duduk tenang di kursi mereka. Pada akhir tes, denyut nadi diperiksa
kembali dan dicatat. Hasilnya adalah peningkatan denyut nadi sebesar 7-12
denyut per menit. Tore Sognefest, seorang Master in Music dari Academy of
Music, Bergen, Norway, melakukan tes yang serupa terhadap siswa di sekolahnya.
Musik dari grup AC/DC, “Hell’s Bells” diperdengarkan dan hasilnya denyut nadi
meningkat 10 denyut per menit, sedangkan waktu “Air” dari Bach dimainkan,
denyut nadi menurun 5 denyut per menit. Kesimpulannya, walaupun pendengar duduk
diam di kursinya, energi yang berlebihan dari musik rock tetap akan
mempengaruhi jantung untuk berdetak lebih cepat. Itu sebabnya pendengar musik
rock sangat sulit untuk duduk diam bila mendengar musik yang mempercepat denyut
jantung. Energi yang terakumulasi akan mencari jalan untuk dilepaskan.
Selain meningkatkan denyut jantung, tekanan darah
pun dapat meningkat oleh adanya adrenalin. Hal ini juga akan kembali
meningkatkan produksi adrenalin, karena tubuh yang berada dalam keadaan stress,
berusaha untuk mengatasinya dengan memproduksi lebih banyak adrenalin agar
alert/waspada. Jika denyut stress ini berlangsung terus menerus, misalnya pada
sebuah konser rock yang panjang, maka jumlah adrenalin yang diproduksi menjadi
berlebihan, dan tubuh tidak mampu lagi untuk membuang kelebihan ini. Sebagian
kelebihan adrenalin ini akan diubah oleh tubuh menjadi zat kimia lain yang
dikenal dengan adrenochrome (C9H9O3N). Sebenarnya senyawa ini adalah suatu obat
psikotropika yang mirip dengan LSD, Mescaline, STP, dan Psylocybin. Beberapa
tes menunjukkan bahwa zat ini menimbulkan suatu ketergantungan, seperti
obat-obat lainnya. Jadi tidaklah aneh bila orang ‘high’ dalam sebuah konser
rock, memasuki kondisi trance dan kehilangan kontrol diri. Sebagaimana dalam
semua keadaan ketergantungan / adiksi, maka akan terjadi toleransi. Musik yang
sama yang semula dapat menimbulkan rasa excitement, sekarang tidak lagi
memuaskan. Dibutuhkan kepuasan yang lebih tinggi, dibutuhkan musik yang lebih
keras, lebih kacau dan lebih tidak beraturan. Dimulai dengan soft rock,
kemudian rock‘n’roll, dan dilanjutkan menjadi heavy metal rock.
David Noebel, meneliti bahwa nada bass dengan
getaran frekuensi rendah bersama-sama dengan dentuman drum, mempengaruhi cairan
serebrospinal, yang akan mempengaruhi kelenjar Pituitary di otak. Kelenjar ini
memiliki fungsi sekresi berbagai hormon tubuh.
Peneliti lain di Denver, Colorado, Amerika
Serikat membandingkan berbagai macam efek oleh berbagai jenis musik terhadap
tanaman. Tanaman-tanaman itu ditempatkan di dalam lima buah rumah tanaman yang
identik. Tanah, cahaya, dan kondisi air dibuat persis sama satu sama lain dan
jenis tanamannya pun sama. Selama beberapa bulan peneliti memperdengarkan jenis
musik yang berbeda pada masing-masing rumah tanaman tersebut. Rumah pertama,
karya Bach; yang kedua, musik India; yang ketiga, hard rock; yang keempat,
musik country dan Barat; sedangkan yang kelima, tidak diperdengarkan musik apa
pun. Hasilnya, di rumah tanaman yang hanya diperdengarkan musik hard rock,
tidak ada hasil pertumbuhan sama sekali. Pertumbuhan berhenti dan tidak mau
berbunga. Di rumah tanaman yang dengan musik Bach dan India, tanaman nampak
hijau, tumbuh dengan subur, sehat, dan berbunga banyak. Tanaman yang
mendengarkan musik country dan Barat tumbuh sama seperti tanaman yang tidak
diperdengarkan musik, pertumbuhannya biasa saja dengan jumlah bunga normal.
Tentunya tidak ada hubungan emosional pada tanaman, namun pasti terjadi sesuatu
melalui frekuensi gelombang suara yang mempengaruhi laju pertumbuhan mereka.
Kalau musik mempunyai pengaruh yang sangat dalam terhadap organisme sederhana
seperti itu, apa pengaruhnya terhadap sistem yang lebih kompleks?
Musik juga dikenal sebagai wahana terapi. Sejak
zaman dahulu dikenal penyembuhan fisik dan mental melalui musik. Daud memainkan
kecapi sambil menyanyi untuk menyembuhkan Raja Saul yang sedang gundah. Musik
juga dipakai oleh Raja Philip V dari Spanyol, Raja George II dari Inggris, dan
Raja Ludwig II dari Bavaria untuk penyembuhan. O’Sullivan (1991) mengemukakan
bahwa musik mempengaruhi imaginasi, intelegensi dan memori, di samping juga
mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan endorfin. Endorfin kita ketahui
dapat mengurangi rasa nyeri, sehingga dapat mengurangi penggunaan obat
analgetik, juga menurunkan kadar katekolamin dalam darah, sehingga denyut
jantung menurun. Mornhinweg (1992) meneliti 58 subyek sehat untuk menilai jenis
musik mana yang menurunkan stress. Musik klasik ternyata memberikan efek
relaksasi yang dapat dibuktikan secara statistik dibandingkan dengan musik “new
age”. Musik yang menenangkan ini juga dipakai dalam pengobatan penderita infark
miokard (serangan jantung), pasien sebelum operasi, bahkan untuk menurunkan
stress pasien yang menunggu di ruang tunggu praktek.
HUBUNGAN MUSIK DENGAN RITME TUBUH
Sesungguhnya manusia adalah mahluk yang ritmik.
Ada siklus gelombang pada otak, siklus tidur, denyut jantung, sistem pencernaan,
dan lain-lain yang kesemuanya bekerja dalam satu ritme. Fenomena ritmik ini
bukan hanya terjadi pada manusia, tetapi pada hampir semua mahluk hidup,
termasuk tumbuh-tumbuhan. Bila ada gangguan terhadap ritme tubuh ini, maka
dapat terjadi berbagai penyakit, seperti diabetes, kanker, dan gangguan
pernapasan. Peneliti David A. Noebel menemukan bahwa ritme musik rock dapat
mengganggu kadar insulin dan kalsium dalam tubuh. Sumber makanan otak kita
didapat dari gula dalam darah, namun bila darah lebih banyak dialirkan ke organ
lainnya, maka otak akan kekurangan gula. Dengan demikian daya pikir dan
pertimbangan moral juga menjadi tumpul. Tidak heran bila orang mendengar musik
rock dalam sebuah konser, mereka dapat berbuat apa saja, tanpa pertimbangan.
Jantung manusia berdenyut 70-80 kali per menit
dengan teratur, denyut jantung bila didengar dengan stetoskop akan berbunyi
DUG-dug-...... Bunyi pertama lebih keras, bunyi kedua lebih lemah, diikuti fase
istirahat. Musik yang baik memiliki ritme DUG-dug-DUG-dug untuk 4/4 dan
DUG-dug-dug untuk 3/4. Ini adalah jenis irama yang sehat, karena sesuai dengan
ritme tubuh. Musik rock memiliki ritme yang terbalik, dug-DUG-dug-DUG. Ritme
yang lebih keras jatuh pada ritme ke-dua dan ke-empat. Atau dug-dug-DUG, sehingga
ritme keras jatuh pada ritme ke-tiga, dikenal dengan istilah “back
beat”/anapestic beat. Ritme keras bahkan dapat jatuh pada sembarang tempat,
disebut sebagai “break beat”. Ritme demikian berbahaya bagi tubuh, karena
berlawanan dengan ritme tubuh yang sehat.
Menurut John Diamond, seorang dokter di New York,
ritme yang berlawanan dengan ritme tubuh akan mengganggu sinkronisasi antara
kedua sisi otak, dengan demikian simetri antara otak kiri dan kanan tidak ada
lagi. Ia mencoba memperdengarkan musik rock pada pekerja pabrik, ternyata
produktivitas menurun. Dibutuhkan jenis musik dengan ritme tertentu untuk dapat
meningkatkan produktivitas pekerja, bila musik yang dipilih salah, maka pasti
akan berefek buruk. Dalam laboratorium ia mencoba memberi beban pada lengan
pria dan ternyata mampu menahan sampai 45 pound. Namun bila musik rock
didengarkan, maka kemampuan itu menurun. Peneliti lain dari Stanford University
mencatat hubungan antara otak, otot dan musik untuk menghasilkan pekerjaan yang
baik. Sebuah alat mengukur gelombang elektrik dari otot para wanita pekerja;
musik didengarkan dan gelombang otot dicatat. Musik dengan ritme tidak teratur
menghasilkan gelombang elektrik otot yang tampak seperti orang yang tidak
pengalaman bekerja dengan tangannya. Namun dengan musik yang ritmenya teratur,
gelombang elektriknya menunjukkan gelombang seperti pekerja yang pengalaman,
sehingga efisiensi kerja bertambah.
Peneliti lain mencoba merekam gelombang otak
selama diperdengarkan ritme anapestic, terjadi gangguan pada gelombang alfa
otak, sehingga terjadi “switching”. Switching adalah sebuah fenomena yang
timbul pada orang dewasa yang sakit jiwa/gila (skizofrenia), di mana orang
tersebut akan menjadi seperti anak kecil dan berjalan seperti hewan
melata/reptil (merangkak dengan kaki-tangan bersamaan sisi, yang seharusnya
berlawanan). Bila hubungan otak kanan dengan kiri berjalan normal, maka seperti
bayi normal akan merangkak dengan kaki-tangan berlawanan sisi. Gerakan orang
yang mendengar musik rock sering “bopping”, yang juga merupakan gerakan
sesisi/homolateral.
Ternyata tidak semua musik rock memiliki ritme
anapestik, musik klasik pun ada yang memiliki ritme demikian. Finale pada lagu
Rite of Spring dari Igor Stravinsky, memiliki ritme ini. Pada pertama kalinya
lagu ini dimainkan dalam konser di Paris tahun 1913, terjadi kerusuhan dan
pengrusakan gedung konser. Hanya dalam waktu 10 menit telah mulai terjadi
perkelahian.
Peneliti lain menggunakan tikus sebagai subyek
penelitian. Studi ini dilakukan dengan memperdengarkan musik dengan bunyi yang
tidak beraturan dan dengan suara drum yang terus menerus. Tikus-tikus ini pada
akhirnya bukan saja mengalami kesulitan belajar dan gangguan memori, namun juga
perubahan struktur sel-sel otak. Neuron menunjukkan adanya kerusakan “wear and
tear” karena stress. Diambil suatu kesimpulan, bahwa ritme-lah yang dapat
mengganggu keseimbangan otak, bukan melodi atau harmoni. Setiap mahluk hidup
memiliki ritme, bila harmoni ritme ini diganggu oleh suatu disharmoni, maka
akan timbul efek yang merusak. Nordwark (1970) dan Butler (1973) melaporkan
bahwa stimulasi auditorik yang terjadi terus menerus akan menyebabkan
terjadinya adaptasi. Suara kereta yang terus menerus akan menyebabkan respons
inhibisi/menghambat pada sistem pendengaran. Reaksi adaptasi ini terjadi dalam
waktu 3 menit dan baru dapat hilang setelah periode pemulihan selama 1-2 menit.
Musik bila akan digunakan sebagai pengobatan, harus mampu merangsang pelepasan
endorfin. Bila terjadi inhibisi, maka proses ini tidak terjadi.
=======KESIMPULAN=======
Telah begitu banyak data ilmiah yang menunjukkan
berbagai jenis musik yang merusak tubuh dan pikiran. Demikian pula telah
diselidiki musik yang dapat memberi ketenangan jiwa, bahkan kesembuhan.
Hendaknya kita semua boleh semakin bijaksana dalam memilih jenis musik yang
sesuai untuk kita dengarkan di rumah, di sekolah, di kendaraan.
Pikiran dan hati kita adalah (satu-satunya)
saluran komunikasi dengan surga. Otak/pikiran kita adalah pusat kontrol semua
tindakan kita. Bila jenis musik yang kita dengar tidak baik dan langsung
memasuki pikiran, tanpa kontrol, maka musik akan mengaktivasi
keinginan-keinginan rendah dan sifat alami manusia. Bila ini terjadi, maka
Tuhan tidak lagi dirindukan. Pikiran telah tunduk kepada tubuh, yang seharusnya
tubuhlah yang tunduk kepada pikiran. Jenderal Douglas Mc Arthur pernah berkata,
“It is fatal to enter any war without the will to win it.”
Ditulis Oleh : Dr. Sondang Aemilia
Pandjaitan-Sirait, SpKK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar